Ketika Agung menceritakan keagungan-Nya

** Tulisan di bawah ini adalah catatan perjalanan yang saya tulis ketika SMA. Harap maklum kalau tulisannya agak 'alay'. Selamat membaca...

Maret, 2004.

Dear Diary...aku mau naik gunung lagi nih! tapi...
nggak gampang dapetin ijin dari Mama. Mana Papa lagi tugas ke Bandung...jadi susah banget nih ngerayu Mama. Kamu tau kan aku baru sembilan bulan jadi murid SMA. Baru beberapa bulan juga gabung jadi anggota GS. Sampai hari ini aku baru dua kali ikut pendakian. Pengalamanku masih minim banget. Awalnya aku cuma ikut-ikutan temen-temen sih. Ima, Yayin, mereka semangat banget...aku jadi pengen ikut juga. (-_-)a Pengaruh dari Om Frans juga sih. Waktu aku cerita kalau ada agenda mau naik Agung, Om Frans bilang, ikut aja. Belum tentu tiap tahun ada pendakian ke Agung sama teman-teman. Bener juga sih. Lagian, kalau tahun depan ada lagi, aku kan udah kelas 2, udah mulai sibuk buat penjurusan. Kalau nunggu pas kelas 3, pasti makin sibuk les tambahan sama persiapan ujian. Kayaknya emang paling pas ya sekarang. Lagian ada tiga orang kakak senior yang mendampingi...jadi yah, aku makin tertarik buat ikut.Tapi meski gitu, aku pesimis banget nih sebenarnya bisa kuat nyampe puncak Agung.

Lembaran-lembaran berikutnya berisi catatan harian dan curhatan-curhatan yang tidak penting untuk dipublikasikan, hehe... Mari kita langsung lanjut saja ke tulisan di bulan berikutnya.

April, 2004. 
Dear, Diary, udah bulan April, Ry. Kamu tahu Ry, sebenarnya nyaliku masih kembang kempis nih. Aku takut sama 'bayangan' yang akan terjadi depan pas naik Agung nanti. Itu kan gunung tertinggi, Ry...pasti capeknya lebih dari naik Batur sama Abang (ya menurut lo?). Padahal waktunya makin deket ya, Ry...tinggal sebulan lagi. Tapi kok aku makin ragu buat berangkat ya, gimana nih? (-_-)a

Niatku jadi maju mundur nih, Ry. Kemaren pulang latian fisik di sekolah, pas nyampe kamar aku jadi suka bayangin gimana kalau di sana nanti aku kepeleset ke jurang? Trus tersesat di hutan. Atau ketinggalan temen-temen. Atau mungkin dipatuk ular, diisep pacet, lintah? Gimana juga kalau aku sampai mati karena kehabisan makanan atau mati dehidrasi karena persediaan air minumku habis? Atau pas mendaki, tiba-tiba aku hilang jatuh ke jurang ketiup angin? Ry...kalau beneran terjadi, aku bisa mati di gunung dong? Tulisan ini bisa jadi tulisan terakhirku. Aku belum mau mati...

Hari-hari berikutnya, lebih banyak tulisan tentang latihan fisik di sekolah, gimana ribetnya saya nyari perlengkapan, dll. Tapi saya skip aja, karena terlalu banyak. Saya langsung ke catatan  sepulang mendaki saja. Iya, akhirnya saya jadi berangkat kok...setelah berminggu-minggu galau-galau nggak jelas..hehe

Mei, 2004.
Haluuuuuuuuuuu my Diaryyyyyyyyyyyyy...Kalau aku masih bisa nulis kamu lagi itu artinya aku udah nyampe rumah. Aku udah pulang dari gunung dengan selamat! Akhirnya, tanggal 14 Mei, pada hari yang sudah ditentukan, aku jadi juga berangkat. Total kami yang berangkat ada sebelas orang, tiga orang perempuan dan sisanya laki-laki. Aduuh pas mau berangkat itu aku deg-degan banget.

Hari Pertama.

Kurang lebih pukul 2 siang, perjalanan dimulai.  Aku doa terus sepanjang jalan, Ry. Dari rumah udah berdoa. Jalan dari sekolah, berdoa. Baru nyampe lokasi, berdoa lagi. Pas mau naik, berdoa. Tiap berhenti berdoa. Aku masih deg-degan aja...takutnya nggak ilang-ilang! Tapi ngga mungkin dong aku mundur dan minta pulang....wong udah nyampe lokasi. Aku doa terus, sebut Bapa Kami terus. Sepanjang perjalanan awal, aku nyanyi-nyanyi dalam hati mencoba rileks. T'rus doa lagi dalem hati. Akhirnya, pelan-pelan ketakutanku mulai lenyap diganti ketenangan.

Kami naik melalui rute Pura Besakih. Rute yang diambil adalah rute yang biasa dilalui wisatawan/pendaki biasa. Untuk menuju puncak, ada dua rute lain, jarak tempuhnya lebih pendek, tapi medannya lebih ekstrim. Sebenarnya nih, Ry, untuk nyelesain pendakian bisa hanya dengan satu hari perjalanan aja. Tapi kakak-kakak lebih milih menikmati perjalanan dengan agak santai, mungkin pertimbangannya karena sebagian besar kami yang ikut baru pertama kali mendaki Agung. Waktu istirahat kami jadi lebih banyak dari pendakian umumnya. Jadi buat nyelesein pendakian kali ini, kami habiskan selama tiga hari dua malam (lama banget ya).

(Oya, waktu itu yang bantuin saya packing barang itu Mama saya. *_* Kalau tanpa Mama, mungkin nggak bakal muat semua barang bawaan saya masuk dalam satu tas carrier 18 lt itu. Setelah diisi semua barang, carrier harus coba didirikan di lantai, mau tegak apa nggak. Kalau miring-miring terus jatuh, artinya ngatur barangnya nggak bener, dan biasanya harus dibongkar lagi. Waktu packing sendiri, saya sempat stress karena bolak-balik jatuh mulu. Sampai akhirnya Mama saya turun tangan, dan sekali atur langsung rapi, nggak miring-miring lagi. Saya cuma bengong ngeliatnya. Ini yang lebih cocok naik gunung kayaknya Mama saya deh.)

Oyaaaa...tau nggak, Ry? Aku sempet lupa ngeluarin kamera buat foto-foto, nok! Duh...nyesel banget!! (Seingat saya, karena saking saya gugup dan rempongnya di sana, saya lupa ngeluarin kamera. Kameranya baru kepake di hari kedua.) Tapi si Oi sempat-sempatnya bawa ayam rebus..hehe. Dan ayam itu kami panggang ala kadarnya buat makan malam di hari pertama (makasih ya, Oi.). Itu makan malam termewah yang kami makan selama di sana. *mengingat jam-jam makan berikutnya, perut saya harus bisa puas hanya dengan coklat, susu, kacang, mi instant dan sarden.* Pesta makan malam di hutan pun usai. Setelah menghangatkan badan dengan api unggun, kami ambil posisi dengan sleeping bag masing-masing. Malam pertama nginep di tengah hutan ini aku lalui dengan penuh kelelahan dan rasa takjub. Masih nggak nyangka kalau jadi berangkat juga dan udah nyampe di ketinggian segini (lupa itu di pos berapa). Pas tiduran ngeliat ke samping, yang ada cuma kegelapan. Tapi pas liat ke atas, langit penuh bintang! Whuaaaa. Keren buanget tau, Ry. Sampai-sampai suara para hewan malam ikut-ikutan terdengar merdu di telinga. Aku ngebayangin mereka itu khusus bernyanyi buat aku dan teman-teman. Aku berdoa lagi. Habis itu nggak inget apa-apa. Ternyata aku tidur nyenyak sampai pagi.

Yak...masih hari pertama.

Hari Kedua.

Kami bangun sebelum subuh, Ry. Perjalanan hari ini dilanjutkan waktu hari masih gelap. Masih ada beberapa jam lagi sebelum matahari terbit. Kami berjalan menggunakan ponco/jas hujan, karena hujan mulai turun subuh itu. Disinilah mulai terjadi peng"kristal"an (krisis mental): berat beban yang dipanggul ditambah licinnya jalan karena hujan, bukan perpaduan yang menyenangkan. Untungnya hujan turun nggak begitu lama. Setelah beberapa jam berjalan, akhirnya kami berhenti untuk istirahat.

Naaaah...aku paling suka nih, Ry, sama istirahat di hari kedua ini. Salah satu pos yang paling nyaman dan damai bagiku! Kamu pasti iri deh, Ry! Aku jadi pengen berlama-lama disana. Kami berteduh, makan siang, dan tidur siang sebentar di sebuah dataran rata yang cukup lapang. Di sana ada batang pohon yang sudah tumbang yang bisa dipakai tidur. Kami juga bergantian tidur-tiduran di atas ayunan gantung, yang digantung di antara dahan pohon. *memang orang-orang ini niat sekali untuk bersantai-santai* Tapi baru aja abis istirahat asoy sebentar, eh di depan ada kejutan yang siap menanti. Tanjakan pasirnya, Ry! Duh....serem bangetlah. Aku takut banget pas lewatin jalur ini.  Bener-bener kayak main Donald Bebek: maju selangkah, mundur tiga langkah. Sempat hopeless lho aku pas lewat sini...mana kiri kanannya jurang. Dan anginnya lumayan kenceng waktu itu. Akhirnya tali pun dikeluarkan!

Langit senja di atas sana itu lho....indah banget. Menakjubkan. Sayang foto-foto pas sunset di gunung nggak ada yang bagus hasilnya waktu dicetak. Ya sudahlah. Akhirnya kami tiba di pos (aduh lupa namanya), tapi banyak yang nyebut tempat ini: Boike Inn. Aku sama teman-teman menghabiskan malam kedua, sekaligus malam terakhir kami, di sini. Meski hanya tidur beratap terpal, beralaskan dan berselimutkan sleeping bag plus makan seadanya, tapi itu semua nikmat banget..sayangya, banyak banget pendaki-pendaki iseng yang nyorat-nyoret disini. Banyak sampah berserakan juga. Bikin kotor...

Tau nggak sih mereka-mereka, yang nyorat-nyoret dan buang sampah sembarangan itu sama motto pecinta alam?
1.Tidak mengambil apapun, kecuali gambar.
2.Tidak membunuh apapun, kecuali waktu.
3.Tidak meninggalkan apapun, kecuali jejak.

Sampai sini saya membolak-balik buku harian saya untuk mencari tulisan tentang cerita menuju puncak. Tapi hasilnya nihil. Maaf. Saya ternyata memang tidak mencatat dengan detail bagaimana perjalanan hingga sampai ke puncak. Tau-tau udah nyampe gitu aja.

Saatnya Pulang.

Dear Diary, bisa dibilang perjalanan turun sempat membuyarkan senyumanku. Wah Ry...kalau bisa naik gunung tanpa acara turun segala, pasti enak banget deh? Dijemput pake helicopter misalnya (kemudian ditoyor senior). Memang sih, waktu turun perjalanannya nggak seberat saat naik, karena nggak ada banyak tanjakan. Saat melakukan perjalanan turun, hari sudah siang. Aku ngerasa sudah sangat letih. Konyolnya, aku dan dua orang teman di rombongan akhir sempat ketinggalan jauh dari kelompok di depan bahkan hampir kemalaman tiba di basecamp bawah. Hiksss... Nggak enak banget rasanya. Badan capek, gatel-gatel, bawa beban berat, dan air minum nyaris habis! Aiiihh...langsung mules kalau inget-inget perjalanan turun. Meski demikian... ah, sungguh. Lelahnya perjalanan menyusuri hutan dan tebing menuju puncak sangat sebanding dengan bonus yang didapat ketika tiba pada titik tertingginya.

-selesai-

**

Sudah tujuh tahun berlalu sejak saya menulis catatan di atas dalam buku harian saya. Namun perjalanan ke puncak itu, akan selalu menorehkan pengalaman dan kenangan tersendiri dalam hati saya. Tak pernah bisa melupakan..betapa teduhnya mata saat memandang langsung hijaunya alam.. betapa segarnya tenggorokan saat menyicip beberapa tetes embun pegunungannya.. juga betapa gemetarnya saya saat berenang dalam pasir di kemiringan..

ingin rasanya kembali ke sana dan mengulang semua perjalanan, mencumbu kembali awan disana, memeluk lagi hembusan angin disana, meneriakkan nama mereka yang kukasihi dan membisikkan doa untuk mereka disana, melempar semua kenangan masa lalu ke dasar jurang terdalam, merayap lagi sampai puncak hanya untuk menyapa sang mentari yang terbit malu-malu, lalu melambaikan tangan kepada puncak-puncak gunung di seberang, dan tersenyum pada Tuhan yang sudah mengantar sampai ke puncak dengan selamat.

huaa....It's so wonderful! Terimakasih, TUHAN, atas kekuatan dariMU waktu saya merasa capek.. atas penghiburanMU waktu saya merasa takut.. atas alam ciptaanMU yang mengajarkan arti sebuah perjuangan dan kesabaran.. atas teman-teman yang KAU berikan dan persahabatan yang mereka bagi dengan cuma-cuma..

Melihat foto-foto di gunung Agung ini lagi jadi teringat lagu pujian ini:
...alam raya menyanyikan kemuliaanNya, dan cakrawala memasyurkan karya tanganNYA
semesta bernyanyi karena kasihNya tak berubah sampai selamanya,
puji agungkan namaNYA...
(Semesta Bernyanyi)

 foto ini dan satu lagi foto di bawahnya,
diambil dari blog orang,
tapi saya lupa save link-nya. maaf. :(

Oi - Yayin - saya

Salah satu foto rame-rame yang tersisa

 






























































Tulisan ini saya persembahkan untuk Sipagala Giri Suta SMAK Sanjose Denpasar, 
terutama angkatan 14,
terkhusus bagi tim pendakian Agung 2004:
Victor, Ima, Ngurah, Johan, Yayin, Cok, Wira, Mbah Edy,
dan kedua senior pembina kami: Mas Endi dan Kak Yus.

Terimakasih atas pertolongan dan kenangan sepanjang perjalanan
menapaki gunung Agung yang tidak akan pernah saya lupakan.

Viva GS!