Pagi pertama.
Kukuruyuuuuuuuuk. Suara beberapa ayam jantan milik Oma dan milik tetangga kiri kanan terdengar sahut menyahut, seakan berlomba membangunkan manusia untuk menyadari ada satu lagi hari baru yang diberikan cuma-cuma untuk mereka. Dua puluh menit lalu, aku sudah bangun, lalu keluar kamar memakai sweater dan duduk di teras depan. Sengaja menunggu momen terindah setiap pagi menjelang: ketika terang perlahan-lahan muncul mengalahkan kegelapan malam. Matahari baru benar-benar terbit beberapa menit kemudian. Beberapa penduduk nampak lewat di depan rumah, ada yang menuju pasar atau ladang, beberapa lainnya memakai seragam kerja. Aku baru saja selesai ber-saat teduh, hendak menutup Alkitabku, ketika beberapa orang anak tetangga berbaju seragam merah putih berjalan kaki melewati depan rumah dan meneriakiku, "Selamat pagi, kakaaaak!". Semangat sekali anak-anak kampung ini.
Kukuruyuuuuuuuuk. Suara beberapa ayam jantan milik Oma dan milik tetangga kiri kanan terdengar sahut menyahut, seakan berlomba membangunkan manusia untuk menyadari ada satu lagi hari baru yang diberikan cuma-cuma untuk mereka. Dua puluh menit lalu, aku sudah bangun, lalu keluar kamar memakai sweater dan duduk di teras depan. Sengaja menunggu momen terindah setiap pagi menjelang: ketika terang perlahan-lahan muncul mengalahkan kegelapan malam. Matahari baru benar-benar terbit beberapa menit kemudian. Beberapa penduduk nampak lewat di depan rumah, ada yang menuju pasar atau ladang, beberapa lainnya memakai seragam kerja. Aku baru saja selesai ber-saat teduh, hendak menutup Alkitabku, ketika beberapa orang anak tetangga berbaju seragam merah putih berjalan kaki melewati depan rumah dan meneriakiku, "Selamat pagi, kakaaaak!". Semangat sekali anak-anak kampung ini.
"Selamat
pagi juga, adik! Pi sakolah ko?", tanyaku sambil menghampiri mereka ke pinggir
jalan. Rumah Oma memang persis di tepi jalan kampung ini.
"Iya kakak. Katong ulangan umum ini hari.", jelas mereka sambil berhenti dan memberitahukanku bahwa mereka ada ulangan umum hari ini.
"Ho, basong berangkat su. Ulangan babaik o...kerja sandiri. Oke?" pesanku kepada mereka agar tidak menyontek nanti saat ulangan. Naluri Ibu guruku mulai keluar. hehehe. Beberapa dari mereka menganggukkan kepalanya, sisanya saling melirik satu sama lain. Yang keesokan harinya, aku baru tahu kalau sebagian dari adik-adik itu bingung dengan kata-kataku, "Memangnya kapan katong sonde kerja ulangan sandiri?" :)
Aku sedang memperhatikan rombongan kecil itu lewat, sambil menguap, ketika salah satu anak, Theda, berhenti dan menoleh ke arahku, "Nanti sore katong pi bermain di kali lagi e, kak?". Aku tidak menjawab, hanya tersenyum sambil menunjukkan jempol ke arah mereka. Kemarin ketika baru tiba dari bandara, aku dan adikku memang ingin sekali mandi di kali belakang rumah Oma. Disanalah kami bertemu dan berkenalan dengan anak-anak ini. Kami berjanji sore nanti mau bermain di kali lagi.
"Iya kakak. Katong ulangan umum ini hari.", jelas mereka sambil berhenti dan memberitahukanku bahwa mereka ada ulangan umum hari ini.
"Ho, basong berangkat su. Ulangan babaik o...kerja sandiri. Oke?" pesanku kepada mereka agar tidak menyontek nanti saat ulangan. Naluri Ibu guruku mulai keluar. hehehe. Beberapa dari mereka menganggukkan kepalanya, sisanya saling melirik satu sama lain. Yang keesokan harinya, aku baru tahu kalau sebagian dari adik-adik itu bingung dengan kata-kataku, "Memangnya kapan katong sonde kerja ulangan sandiri?" :)
Aku sedang memperhatikan rombongan kecil itu lewat, sambil menguap, ketika salah satu anak, Theda, berhenti dan menoleh ke arahku, "Nanti sore katong pi bermain di kali lagi e, kak?". Aku tidak menjawab, hanya tersenyum sambil menunjukkan jempol ke arah mereka. Kemarin ketika baru tiba dari bandara, aku dan adikku memang ingin sekali mandi di kali belakang rumah Oma. Disanalah kami bertemu dan berkenalan dengan anak-anak ini. Kami berjanji sore nanti mau bermain di kali lagi.
Pagi
yang indah di tanah kelahiranku.
Aku pun segera kembali ke dalam
rumah Oma, mengambil pakaian dan keperluan mandi, lalu menuju ke kamar
mandi. Aku memang berencana bangun pagi karena ingin ikut
berbelanja ke pasar. Aku harus segera mandi sebelum sepupu-sepupuku yang
lain bangun dan rebutan kamar mandi. Maklum, kamar mandi di
rumah Oma hanya ada satu. Sedangkan selama beberapa hari ini
rumah Oma ramai dengan anak-anak dan para cucu. Tanpa menunggu lama, aku pun berjalan
menuju kamar mandi yang memang masih kosong.
Rumah Oma sudah ramai ketika aku, bibiku dan sepupuku kembali dari pasar. Begitulah kalau keluarga besar sedang berkumpul. Sejak kecil, aku selalu menyukai suasana kumpul-kumpul seperti ini. Sayangnya, suasana seperti ini muncul hanya ketika ada saudara yang akan menikah. Selebihnya, kami jarang sekali berkumpul seperti ini. Kali ini, kakak sepupu perempuanku, berumur delapan tahun di atasku, yang akan melepas masa lajangnya.
***
Usai sarapan bersama, seluruh keluarga besar dan para tetangga di sekitar sudah berkumpul dengan kelompoknya masing-masing. Ternyata ketika tadi aku ke pasar, pamanku sudah membagi tugas untuk masing-masing orang. Begitulah adat di kampung, gotong royong masih kental terasa. Tidak perlu menyewa wedding organizer, keluarga dan para tetanggalah WO-nya. Saatnya aku bergabung dengan kelompok perempuan (di sekitar dapur dan ruang tamu) dan mulai bekerja.
Empat jam berlalu.
Mamaku memintaku dan sepupuku untuk mengantarkan makan siang untuk kelompok pria, yang sedang sibuk bekerja di halaman depan dan rumah sebelah. Saat itulah aku melihatnya. Di antara kerumunan orang banyak, ternyata lelaki itu sengaja datang untuk membantu pamanku. Bekerja. Memotong. Menarik. Memasang. Memotong daging. Pergi ke kota membeli sesuatu. Memasang ini itu. Aku tidak sempat memperhatikannya lebih lama, karena kami sudah dipanggil lagi ke dalam.
Di dalam rumah dan di dapur, kami para perempuan juga sibuk. Sibuk 'bermain' dengan pisau, bawang, tacu, kuali, bumbu rempah, membuat bermacam-macam kue, menggoreng daging, merebus, menanak nasi, membuat sambal lu'at, mondar-mandir. Sambil mulut tak pernah diam, bergantian melempar topik obrolan. Tentang resep masakan, tentang hari depan, tentang nasehat untuk kami anak muda, tentang perjalanan mengikut Tuhan. Aku lebih banyak mendengar dan menikmati percakapan. Bersyukur isinya bukan tentang gosip artis atau membicarakan orang yang tidak penting.
Rumah Oma sudah ramai ketika aku, bibiku dan sepupuku kembali dari pasar. Begitulah kalau keluarga besar sedang berkumpul. Sejak kecil, aku selalu menyukai suasana kumpul-kumpul seperti ini. Sayangnya, suasana seperti ini muncul hanya ketika ada saudara yang akan menikah. Selebihnya, kami jarang sekali berkumpul seperti ini. Kali ini, kakak sepupu perempuanku, berumur delapan tahun di atasku, yang akan melepas masa lajangnya.
***
Usai sarapan bersama, seluruh keluarga besar dan para tetangga di sekitar sudah berkumpul dengan kelompoknya masing-masing. Ternyata ketika tadi aku ke pasar, pamanku sudah membagi tugas untuk masing-masing orang. Begitulah adat di kampung, gotong royong masih kental terasa. Tidak perlu menyewa wedding organizer, keluarga dan para tetanggalah WO-nya. Saatnya aku bergabung dengan kelompok perempuan (di sekitar dapur dan ruang tamu) dan mulai bekerja.
Empat jam berlalu.
Mamaku memintaku dan sepupuku untuk mengantarkan makan siang untuk kelompok pria, yang sedang sibuk bekerja di halaman depan dan rumah sebelah. Saat itulah aku melihatnya. Di antara kerumunan orang banyak, ternyata lelaki itu sengaja datang untuk membantu pamanku. Bekerja. Memotong. Menarik. Memasang. Memotong daging. Pergi ke kota membeli sesuatu. Memasang ini itu. Aku tidak sempat memperhatikannya lebih lama, karena kami sudah dipanggil lagi ke dalam.
Di dalam rumah dan di dapur, kami para perempuan juga sibuk. Sibuk 'bermain' dengan pisau, bawang, tacu, kuali, bumbu rempah, membuat bermacam-macam kue, menggoreng daging, merebus, menanak nasi, membuat sambal lu'at, mondar-mandir. Sambil mulut tak pernah diam, bergantian melempar topik obrolan. Tentang resep masakan, tentang hari depan, tentang nasehat untuk kami anak muda, tentang perjalanan mengikut Tuhan. Aku lebih banyak mendengar dan menikmati percakapan. Bersyukur isinya bukan tentang gosip artis atau membicarakan orang yang tidak penting.
Lelaki itu berkali-kali menoleh ke arahku dan menatapku terus menerus. Tapi itu hanya kata sepupuku yang tidak ku percaya. Mana mungkin? Tiap ada yang bercerita dan melemparkan kelakar sampai semua tertawa, aku selalu menoleh ke arah lelaki itu beberapa detik. Dan dia selalu sibuk bekerja. Ah, sepupuku memang sok tau. Mana mungkin lelaki itu menoleh ke arahku?
Satu jam telah berlalu. Beberapa kue mulai matang dan aku berdiri untuk menempatinya dalam wadah stoples kaca. Sebuah cerita lucu dilontarkan tentang kakak sepupu laki-lakiku (yang sedang bekerja di halaman depan, jadi tidak mungkin mendengar), membuat tawa kami tidak berhenti. Tertawa sampai air mata ikut keluar. Tanpa sadar, aku refleks menoleh ke arah lelaki itu. Eh? Mereka disana sedang tertawa juga. Kakak sepupuku yang sedang kami 'tertawakan' disini, sedang bercerita tentang sesuatu disana. Lelaki itu berdiri persis di depannya, membelakangiku.
Ah, kuperhatikan...sekilas tak ada bedanya dia dari kakak sepupuku yang sedang asik bercerita. Tinggi tubuhnya seperti kebanyakan pria muda seumurnya. Rambutnya seperti sengaja dibiarkan agak memanjang dan beberapa butir keringat tampak menggantung di ujung-ujung rambutnya. Matahari memang cukup terik siang ini. Ingin aku meminjamkan topi eiger hitamku di kamar. Tapi tidak mungkin tiba-tiba aku menyodorkan topi kepada orang yang mungkin lupa padaku? Tapi kaos abu-abu yang ia kenakan separuh bagian punggungnya basah. Ah, kenapa aku memusingkan lelaki itu? Ingin mengulurkan tisu? Hih. Mungkin saja dia sudah tidak mengingatku.
Sepuluh detik lamanya aku menatap punggungnya, ketika lelaki itu tiba-tiba menoleh ke belakang. Ia itu melihatku sedang memperhatikannya. Wajahku memerah. Tapi ia tidak tersenyum padaku.
*****
Jam lima sore.
Teng sudah berdiri. Rumah Oma dari belakang hingga halaman depan penuh dengan aroma kue dan masakan yang bercampur jadi satu. Kerumunan 'pekerja pesta' yang semula memadati halaman, sebagian mulai berpencar menuju dapur, sebagian lagi memilih untuk beristirahat di kursi-kursi plastik.
Aku sedang berada di bawah pohon, di samping rumah Oma. Mulutku sibuk mengunyah potongan kue tar susu buatan Oma, kue kesukaanku sejak kecil. Di sampingku duduk seorang lelaki yang tadi kutatap punggungnya. Ia menganggukkan kepalanya. Aku bercerita tentang ini dan itu. Ia sesekali tersenyum, senyum yang kutunggu sejak siang tadi. Matanya mengarah ke gelas kopi di tangannya. Sesekali ia menatap ke atas. Ke arah langit sore yang kemerah-merahan.
Lelaki di sampingku menghirup kopinya dalam-dalam. Tak banyak bicara. Ia lebih banyak mendengarku bercerita. Ia bilang, senja disini sangat indah. Itu kalimat pertamanya sejak tadi. Aku mengiyakan. Bahkan senja di Bali, pulau yang selama 20 tahun ini kutinggali, tidak bisa menggantikan indahnya senja di kampung ini.
Ketika kopinya hampir habis, lelaki itu meletakkan gelasnya di tanah. Kali ini giliran lelaki itu bercerita. Tentang keluarganya. Tentang sahabatnya. Dan tentang seorang wanita yang sudah lama ia kagumi. Wanita yang sangat menarik baginya. Tapi mereka sudah lama tidak bertemu dan berbicara. Ketika berkata seperti itu, wajahnya menatap ke atas, dia menghirup nafasnya dalam-dalam, lalu menoleh dan tersenyum padaku. Matanya ikut tersenyum. Seperti ada rindu yang menggantung disana. Pasti untuk wanita yang ia ceritakan barusan.
Benar kan, lelaki di sampingku ini sudah mempunyai gadis impian. Mereka mungkin sedang bertengkar, atau menjalin hubungan jarak jauh. Kedua kakiku kuayun di atas tanah. Mencoba relax menikmati senja kali ini. Mencoba tersenyum mendengar ceritanya. Lalu mengutuki impian bodoh yang beberapa menit lalu melintas. Menyesali diri sendiri yang sempat percaya pada kata-kata sepupuku tadi pagi.
Bersama lelaki ini di sampingku, senja itu tak lagi menjadi indah. Padahal sebelumnya, senja disini terlalu sempurna untuk disebut indah.
Kelompok pekerja mulai bubar satu persatu. Lelaki di sebelahku juga ikut pamit. Dia berkata besok ingin mengobrol lagi denganku. Tapi aku sudah tidak tertarik lagi dengan percakapan apapun. Saat ini aku hanya ingin berendam yang lama. Tapi kaki ini sangat enggan berjalan menuju kali. Dan hari sudah terlalu sore untukku pergi ke kali. Biarlah besok aku minta maaf kepada adik-adik tetangga yang pasti sedang bersiap-siap pulang, karena lama menungguku tidak datang-datang. Maafkan kakak ya.
Badan ini terasa sangat lelah. Kelelahan yang tidak kumengerti. Lebih baik aku mandi saja di kamar mandi Oma.
**
Pagi kedua.
Lelaki itu datang kembali. Ia, seorang lelaki yang selalu ingin kucari tahu kabarnya. Lelaki yang lebih tua sedikit dariku, anak sahabat pamanku. Lelaki yang sepuluh tahun terakhir tidak pernah kulihat lagi. Dan hari ini lelaki itu sengaja datang untuk membantu pamanku (lagi). Bekerja. Memotong. Menarik. Memasang. Membunuh babi. Menyiapkan 'teng'.
Pekerjaan semakin sibuk, orang lalu lalang, dekor pelaminan akan dipasang. Semua tampak sibuk. Pekerjaan ini harus selesai paling lambat nanti malam.
Aku memilih untuk membantu calon pengantin wanita saja, siap disuruh kemana saja. Supaya tidak diminta mengantar minuman dan menyiapkan makan siang. Sengaja menghindari kelompok pria yang masih sibuk bekerja. Menghindarinya. Terlalu takut kecewa. Terlalu lelah untuk memperhatikannya lagi. Aku menenggelamkan diriku sendiri dalam lautan patah hati yang tercipta atas dasar asumsiku sendiri.
**
Pagi ketiga.
Kami semua sedang berada di dalam gereja. Kakak sepupuku nampak begitu anggun dan cantik. Kecantikan khas wanita daerah kami, sekilas wajahnya sama cantiknya dengan Oma. Tak sadar mataku basah melihat proses pemberkatan pagi itu. Kemarin seharian, kakak sepupuku bercerita banyak tentang perjalanan hubungan mereka. Tidak mudah, butuh bertahun-tahun pergumulan dan penyerahan total pada Tuhan. Pagi itu, aku terkagum-kagum dengan kisah cinta yang Tuhan tulis untuk mereka.
Dalam hati ku berdoa dan minta ampun pada Tuhan karena selama ini memaksakan kehendakku sendiri. Pagi itu, aku menyerahkan kembali hidupku untuk dipimpin oleh Tuhan. Bahwa pasangan hidup yang sesuai dengan kehendak Tuhan sajalah yang biar jadi atasku. Aku berdoa agar hatiku dimurnikan dalam masa penantian ini. Aku ingin melayani Tuhan dengan masa lajangku.
(to be continued)