Surat ini ditulis dalam buku harian saya, pada awal 2011.
Ditulis dengan perasaan yang aneh. Perasaan yang asing...
***
Hai, kak. Apa kabar? Kemarin ngga sengaja nemu foto kita waktu habis acara gathering. Gathering terakhir yang kakak kami todong jadi pembicara itu. Masih ingat kan? Aku jadi rindu deh kak, saat dimana kita masih duduk bersama dalam pertemuan-pertemuan di rumah persekutuan itu. Doa bareng tiap Sabtu pagi. Persekutuan bersama teman-teman di hari Minggu sore. Terlibat dalam pelayanan bareng.
Ditulis dengan perasaan yang aneh. Perasaan yang asing...
***
Hai, kak. Apa kabar? Kemarin ngga sengaja nemu foto kita waktu habis acara gathering. Gathering terakhir yang kakak kami todong jadi pembicara itu. Masih ingat kan? Aku jadi rindu deh kak, saat dimana kita masih duduk bersama dalam pertemuan-pertemuan di rumah persekutuan itu. Doa bareng tiap Sabtu pagi. Persekutuan bersama teman-teman di hari Minggu sore. Terlibat dalam pelayanan bareng.
Sampai kemudian muncul kesalahpahaman di antara kita berdua. Hmm, maksudku kita bertiga.
...andai segitiga itu nggak pernah ada diantara kita ya, kak. Mungkin segalanya akan tetap indah dan kita mungkin masih bisa menikmati suasana persekutuan yang ada. Tanpa perlu menjadi seperti ini. Canggung dan canggung. Merasa aneh.
Aku masih ingat suasana hangat persekutuan di pagi hari yang berkabut di kaki gunung itu, beberapa tahun lalu. Kakak yang memimpin pujian di pagi itu.

Hari itu adalah salah satu retreat yang tidak akan pernah kulupakan.
Maaf karena bertahun-tahun setelah pagi berkabut itu, aku mengecewakan kakak dengan 'keputusan'ku yang salah.
Tapi aku belajar dari segitiga di antara kita. Bahwa di kemudian hari nanti, aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Biarkan aku berjanji pada diriku sendiri, aku mau mencari tahu kehendakNya terlebih dahulu. Aku mau melibatkan orang-orang terdekatku, bertanya terlebih dulu pada mereka yang peduli denganku. Sehingga aku nggak salah lagi dalam mengambil keputusan. Supaya nggak ada lagi hati yang sakit karena keputusanku yang salah.
Aku mau menantikan TUHAN terlebih dulu.
Kakak juga, kan?
Hari itu adalah salah satu retreat yang tidak akan pernah kulupakan.
Maaf karena bertahun-tahun setelah pagi berkabut itu, aku mengecewakan kakak dengan 'keputusan'ku yang salah.
Tapi aku belajar dari segitiga di antara kita. Bahwa di kemudian hari nanti, aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Biarkan aku berjanji pada diriku sendiri, aku mau mencari tahu kehendakNya terlebih dahulu. Aku mau melibatkan orang-orang terdekatku, bertanya terlebih dulu pada mereka yang peduli denganku. Sehingga aku nggak salah lagi dalam mengambil keputusan. Supaya nggak ada lagi hati yang sakit karena keputusanku yang salah.
Aku mau menantikan TUHAN terlebih dulu.
Kakak juga, kan?