Tampilkan postingan dengan label surat imajiner. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label surat imajiner. Tampilkan semua postingan

Selasa, 24 September 2013

Gerard nomor delapan

Satu jam yang lalu, saya melihat seorang bocah laki-laki berbaju bola warna merah dengan nomor punggung 8 Gerard, datang membeli jajan di warung sebelah. Lebih dari setengah jam rasanya anak itu duduk di teras warung. Mengobrol dengan pemilik warung, Pak Gosa.

Selama bertahun-tahun kami bertetangga, saya jarang sekali melihat Pak Gosa duduk sendiri di bangku itu. Hampir setiap hari, Bu Puspa, istrinya, selalu ada di sampingnya. Duduk berdua di bangku panjang yang sama. Melayani pembeli. Mengobrol hingga malam mereka menutup warung. Hingga tiga bulan lalu, Bu Puspa mendahului suaminya. Berpulang kepada Sang Pencipta.

Biasanya tiap siang seperti ini, ada saja orang yang datang berbelanja. Tumben, siang ini agak sepi. Hanya ada satu tamu di warung itu. Ya anak kecil berbaju merah tadi masih disana. Dia masih asik bercerita. Tangannya sesekali digerakkan membentuk sebuah benda. Sesekali ia menunjuk-nunjuk ke atas, mengangguk-angguk menirukan sesuatu. Semangat sekali. Lalu ia tergelak sendiri. Mungkin merasa lucu dengan ceritanya sendiri. Pak Gosa hanya manggut-manggut mendengar ceritanya. Entah mengerti atau tidak. :p Yang jelas, Pak Gosa belum menggeser tempat duduknya sedari tadi. Entah siapa yang menemani siapa sore ini. :)

Kenapa saya tertarik memperhatikan tingkah anak kecil itu?

Mungkin karena ketika anak itu baru datang dan memarkir sepeda birunya, saya seketika teringat pada Jeje. Anak kedua dari salah satu Oom kesayangan saya. Sejak Ibunya meninggal, Ayah mereka 'menitipkan' Jeje dan kakaknya untuk diasuh oleh Paktua dan Maktua angkat mereka, Papa dan Mama saya. Maka ketika saya duduk di bangku SMA, saya mempunyai tambahan dua orang adik lagi. Jeje dan Etta.

Gerard (sebut saja nama anak laki-laki di warung tadi Gerard, sesuai dengan baju bola yang dia pakai :p) sekilas sangat mirip dengan Jeje. Potongan rambutnya, badan gempalnya, tinggi badannya, cara tertawanya, sampai deretan atas gigi ompongnya (yang lebih tepat disebut deretan gusi).....semuanya sangat mirip. Sangat mirip dengan Jeje delapan tahun yang lalu.

Ya, delapan tahun yang lalu.

Karena cuma itu memori yang saya ingat tentang Jeje (dan kakaknya), sebelum mereka pindah keluar dari pulau ini.

Dan selama itu, saya belum pernah bertemu dengan mereka lagi.
*****
Jeje...apa kabarmu, dek? Masih ingat sama kak Lia nggak?

Mungkin Jeje lupa, ngga apa-apa. Jeje waktu itu masih kecil banget, wajar kalau ngga ingat sama kak Lia. Tapi pasti Jeje ngga mungkin lupa sama Papa Mama, kan? Alm.Papa Yohanis dan Mama Indah. Juga Paktua dan Maktua Jeje, yang tanpa ada yang ngajarin tiba-tiba Jeje panggil Papa Mama juga.

Satu tahun belakangan ini, hampir tiap minggu kak Lia ketemu sama teman-teman Jeje dan kak Etta di gereja. Teman-teman sekolah minggu kalian dulu sekarang udah masuk Persekutuan Teruna, lho... Kak Lia sering banget mengkhayal kalau kalian masih ada disini, pasti kalian ikut IHMPT juga bareng Ando, Lui, dan teman-teman sebaya kalian lainnya disini. Trus kak Oline pasti akan ngajak kalian ikut persekutuan siswa, KTB, kamp siswa. Iya kakak tau khayalan barusan nggak mungkin terjadi dalam waktu dekat ini. :(

Selamat ulang tahun ya, adikku sayang. Kak Lia nggak akan pernah lupa tanggal ulang tahun Jeje, karena ulang tahun kita berdua kan cuma beda empat hari. Jeje pasti inget juga kan? Tapi kalau lupa ngga apa-apa, waktu itu Jeje memang masih kecil banget.

Hmm...kak Lia nggak tau Etta dan Jeje akan baca tulisan ini apa nggak. Tapi kalau kalian mungkin baca ini, kak Lia boleh ya pesan sesuatu buat kalian. Inget nggak dulu Papa sama Mama sering bilang sama kita berempat, kalau yang namanya saudara itu wajar kalau bertengkar. Tapi kalau bertengkar nggak boleh lama-lama. Harus ada salah satu yang ngalah dan ngajak baikan. Jangan sampe diem-dieman berhari-hari. Kalian sering bertengkar nggak disana? Inget pesan Papa sama Mama ya...bertengkarnya jangan lama-lama :)

Terus ketika kalian mungkin lagi sedih, lagi seneng, lagi kesel sama temen di sekolah, lagi kesel sama orang rumah, habis bertengkar berdua, atau lagi kangen sama Papa Mama, atau apapun yang Etta sama Jeje lagi rasain, bawa itu semua dalam doa ya. Ceritain semua yang kalian rasain sama Tuhan Yesus. Selalu jadikan Tuhan Yesus Sahabat kalian ya.

Jaga diri baik-baik disana, ya sayang...

Kalau Tuhan berkenan, suatu saat pasti kita bisa ngumpul lagi kayak dulu.

oya...taman kita ini sekarang udah nggak ada, sayang. :'(

Sabtu, 22 Juni 2013

surat cinta (1)

Teruntuk: yang terkasih, suami masa depanku

Hai, sayang. Apa kabar?

Saat menulis surat ini, aku sedang memikirkanmu.

Memikirkan kita.

Aku mengetik surat ini sambil berharap cemas teman-temanku tidak menemukan blogku dan membaca surat ini. Mereka pasti akan meledekku habis-habisan. Tapi biarlah, aku sudah terlanjur memulai surat ini. Bukankah setiap orang bebas mengeluarkan pendapatnya? Dan aku yakin, mereka akan tetap berteman denganku. Karena lingkaran teman-teman terbaikku penuh dengan orang-orang aneh. Jadi bisa kupastikan, aku bukanlah satu-satunya yang aneh. :)

Aku tidak sedang frustasi karena terlalu lama sendiri. Bukan juga terlalu mengkhayalkan sesuatu yang belum pasti. Aku hanya rindu. Salahkah merindukan seseorang yang belum pernah bertemu? Aku membutuhkan waktu sepuluh menit di depan laptop sampai aku memutuskan untuk menulis ini padamu. Maka biarkan aku menyelesaikan surat ini dulu, agar tersalurkan rinduku padamu.


Seperti apa ya nanti kita bertemu? Sampai aku menulis surat ini, belum ada satupun clue tentangmu yang aku tahu. Yang aku tahu, meski belum tahu kamu seperti apa, tapi aku mau kamu percaya bahwa aku sudah mengasihimu saat ini. Iya, kamu. Suami masa depanku.

Kamu tertawa tidak ya ketika membaca surat pertamaku ini? Aku norak ya? Nggak apa-apa kalau kamu mau tertawa. Aku tahu kok, kamu pasti tetap akan menyelesaikan membaca surat ini.


Hmmm...aku sebenarnya bingung apa yang bisa kuceritakan dalam surat ini. Atau mungkin lebih baik aku bertanya saja padamu. Hmm...aku sudah tanyakan kabarmu atau belum ya? Eh kenapa aku jadi grogi begini.....padahal di depanku hanya ada laptop dan bukan kamu. Hmm...sayang, apa yang sedang kamu lakukan saat ini? Kamu bekerja? Bekerja apa? Dimana? Apa pekerjaanmu itu sesuai dengan minatmu? Sesuai dengan passion-mu? Apa kamu sudah menemukan panggilan Tuhan dalam hidupmu? Apakah semua pertanyaanku ini membuatku mulai tampak membosankan? Apa aku sebaiknya melamar pekerjaan sebagai wartawan saja?

Beri tahu aku secepatnya ya bagaimana kabar terbarumu. Tolong kasi tau aku selengkapnya lengkapnya. Aku ingin tahu dan ingin ikut berjuang bersamamu. Aku ingin suatu saat nanti duduk di sampingmu, mendengarmu bercerita tentang mimpi-mimpimu. Tentang harapanmu. Tentang panggilan Tuhan dalam hidupmu dan bagaimana kamu mengerjakannya. Aku juga mau menjadi orang pertama yang mendengar keluhan-keluhanmu. Tentang masalahmu dengan rekan kerjamu. Tentang kekecewaanmu. Tentang ketakutanmu.

Aku memang bukan malaikat yang akan menghilangkan semua bebanmu sekaligus sesaat setelah kamu bercerita (sampai sekarang aku sebenarnya masih sangsi, apakah ada malaikat yang seperti itu?). Aku hanya seorang perempuanmu yang saat kamu bercerita, akan membuatkanmu secangkir kopi panas ternikmat yang pernah kamu cicipi. Nikmat, karena aku membuatnya dengan ramuan cinta dan mengaduknya dengan sendok kasih sayang (ya aku tahu dari keseluruhan surat pertamaku ini, bagian inilah yang paling lebay). Oh ya, aku belum tahu kamu suka minuman apa. Kopi hitam atau kopi susu? Teh hijau atau coklat panas? Tapi rasanya asal kita bersama, minum apa saja tetap terasa nikmat kan? *lalu nyodorin aqua galon*

Ah, aku hanya ingin menghiburmu saja.


Rasanya sekian dulu surat pertamaku ini.

Semoga aku bisa sama sabarnya denganmu dalam menunggu datangnya masa kita nanti. Semoga kita bisa sama-sama menikmati masa lajang dan penantian ini, menjaga kekudusan dan kemurnian, terus punya hati yang haus akan DIA, dan mempercayakan hidup kita hanya pada DIA. Tuhan dan Raja kita. Sang Penguasa dan Pemilik hidup dan hati kita.


dari yang sangat mengasihimu,
istri masa depanmu.


p.s. jaga kesehatanmu, ya.

Sabtu, 20 April 2013

surat untuk seorang saudari

Surat ini ditulis dalam buku harian saya, pada awal 2011.
Ditulis dengan perasaan yang aneh. Perasaan yang asing...

***

Hai, kak. Apa kabar? Kemarin ngga sengaja nemu foto kita waktu habis acara gathering. Gathering terakhir yang kakak kami todong jadi pembicara itu. Masih ingat kan? Aku jadi rindu deh kak, saat dimana kita masih duduk bersama dalam pertemuan-pertemuan di rumah persekutuan itu. Doa bareng tiap Sabtu pagi. Persekutuan bersama teman-teman di hari Minggu sore. Terlibat dalam pelayanan bareng.

Sampai kemudian muncul kesalahpahaman di antara kita berdua. Hmm, maksudku kita bertiga.

...andai segitiga itu nggak pernah ada diantara kita ya, kak. Mungkin segalanya akan tetap indah dan kita mungkin masih bisa menikmati suasana persekutuan yang ada. Tanpa perlu menjadi seperti ini. Canggung dan canggung. Merasa aneh.
 
Aku masih ingat suasana hangat persekutuan di pagi hari yang berkabut di kaki gunung itu, beberapa tahun lalu. Kakak yang memimpin pujian di pagi itu.



Hari itu adalah salah satu retreat yang tidak akan pernah kulupakan.

Maaf karena bertahun-tahun setelah pagi berkabut itu, aku mengecewakan kakak dengan 'keputusan'ku yang salah.

Tapi aku belajar dari segitiga di antara kita. Bahwa di kemudian hari nanti, aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Biarkan aku berjanji pada diriku sendiri, aku mau mencari tahu kehendakNya terlebih dahulu. Aku mau melibatkan orang-orang terdekatku, bertanya terlebih dulu pada mereka yang peduli denganku. Sehingga aku nggak salah lagi dalam mengambil keputusan. Supaya nggak ada lagi hati yang sakit karena keputusanku yang salah.


Aku mau menantikan TUHAN terlebih dulu.

Kakak juga, kan?

******

Februari, 2011.
Untuk seorang saudari,
yang dengan tulus pernah kupanggil kakak.